JAKARTA
Media Suara Rakyat Indonesia
Tiga dari 21 tersangka mulai diadili. Perkara dugaan korupsi di PT Timah pun memasuki episode terbaru.
Merujuk pada surat dakwaan yang telah dibacakan dalam sidang terbuka di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu, 31 Juli 2024, kasus itu lengkapnya bertajuk ‘Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015 sampai dengan tahun 2022’. Singkatnya kasus korupsi timah.
Sejauh ini ada 21 tersangka yang dijerat Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam perkara itu dan seorang tersangka lain dengan jeratan perintangan penyidikan. Dari 21 tersangka itu, ada 3 orang yang lebih dulu dimejahijaukan. Siapa saja?
1. Suranto Wibowo
2. Rusbani
3. Amir Syahbana
Suranto diadili dalam kapasitasnya sebagai Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Kadis ESDM Babel) untuk periode Januari 2015-Maret 2019.
Sedangkan kapasitas Rusbani selaku Pelaksana tugas atau Plt Kadis ESDM periode Maret 2019-Desember 2019. Kemudian Amir Syahbana sebagai Kepala Bidang Pertambangan Mineral Logam Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode Mei 2018-November 2021 serta Plt Kadis ESDM Babel periode Juni 2020-November 2021 serta Kadis ESDM Babel periode November 2021-2024.
Merujuk pada keterangan itu artinya pucuk pimpinan Dinas ESDM Babel secara berurutan dijabat oleh Suranto kemudian diteruskan Rusbani dan diestafetkan ke Amir Syahbana.
Sedangkan sisanya yaitu 18 orang tersangka yang segera menyusul ke persidangan adalah sebagai berikut:
1. Bambang Gatot Ariyono (Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/Dirjen Minerba Kementerian ESDM periode 2015-2020);
2. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021);
3. Emil Ermindra (Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020);
4. Alwin Akbar (Direktur Operasi dan Produksi PT Timah periode April 2017-Februari 2020);
5. Tamron alias Aon (Beneficial Owner atau orang yang mendapatkan keuntungan dari CV Venus Inti Perkasa/CV VIP dan PT Menara Cipta Mulia/PT MCM);
6. Achmad Albani (General Manager Operational CV VIP dan PT MCM);
7. Hasan Tjhie (Direktur Utama CV VIP);
8. Kwan Yung alias Buyung (Mantan Komisaris CV VIP sekaligus Pengepul/Kolektor Bijih Timah);
9. Suwito Gunawan alias Awi (Beneficial Owner PT Stanindo Inti Perkasa/PT SIP);
10. MB Gunawan (Direktur PT SIP sejak tahun 2004);
11. Robert Indarto (Direktur PT Sariwiguna Binasentosa/PT SBS sejak tanggal 30 Desember 2019);
12. Hendry Lie (Beneficial Owner PT Tinindo Internusa/PT TIN);
13. Fandy Lingga (Marketing PT TIN periode 2008-2018 sekaligus adik dari Hendry Lie);
14. Rosalina (General Manager Operational PT TIN periode Januari 2017-2020);
15. Suparta (Direktur Utama PT Refined Bangka Tin/PT RBT sejak 2018);
16. Reza Andriansyah (Direktur Pengembangan Usaha PT RBT sejak 2017);
17. Harvey Moeis (Perwakilan PT RBT); dan
18. Helena Lim (Manager di PT Quantum Skyline Exchange/PT QSE).
Duduk Perkara
Jaksa mengatakan sejak 2015 PT Timah tidak lagi melakukan penambangan tetapi menampung bijih timah hasil penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Perbuatan itu dikemas PT Timah melalui program kerja sama mitra jasa penambangan atau pemilik Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP). Seharusnya kerja sama itu hanya untuk kegiatan jasa penambangan kepada PT Timah tapi dalam kenyataannya PT Timah memberi kesempatan ke pemilik IUJP membeli bijih timah dari penambang ilegal sekaligus melakukan penambangan sendiri.
Pemilik IUJP adalah perusahaan-perusahaan di bidang penambangan yang mendapatkan IUJP yang diterbitkan Gubernur Babel dari hasil evaluasi Dinas ESDM Babel. Untuk wilayah IUP PT Timah, jumlah pemilik IUJP itu di kisaran 20 hingga 60 perusahaan per tahunnya. Dalam prosesnya, jaksa mengatakan proses penambangan yang tidak beraturan ini mengakibatkan tidak tercapainya target produksi PT Timah. Akal-akalan dalam urusan aturan ini melibatkan para mantan kepala dinas yang saat ini menjadi terdakwa.
“Bahwa Program Kemitraan Jasa Pertambangan antara PT Timah dengan Mitra Jasa Pertambangan atau Pemilik IUJP sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2022 merupakan rekayasa PT Timah untuk melegalisasi penambangan maupun pembelian bijih timah dari pertambangan illegal di wilayah IUP PT Timah sehingga mengakibatkan terjadi pengeluaran PT Timah yang tidak seharusnya sebesar Rp 10.387.091.224.913,” kata jaksa.
Oleh sebab itu, Alwin Akbar bersama Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil Ermindra membuat program peningkatan sisa hasil penambangan pada 2017 untuk meningkatkan produksi bijih timah. Caranya adalah dengan membeli dari penambang baik dari pemilik IUJP maupun penambang ilegal.
Jaksa mengatakan pembelian dari penambang ilegal itu dilakukan dengan sistem jemput bola. Karyawan di bawah Alvin Akbar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah diperintah mendatangi para penambang ilegal di mana penentuan tonase bijih timah menggunakan ‘metode kaleng susu’ tanpa uji laboratorium.
Sejatinya pembelian bijih timah secara langsung dari penambang ilegal dilarang, oleh sebab itu Emil Ermindra dan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani mendirikan CV Salsabila Utama. Atas pembelian itu, PT Timah mengeluarkan Rp 986.799.408.690 untuk CV Salsabila Utama.
Kemudian di tahun 2018, Alwin Akbar dan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani bertemu para pemilik smelter yaitu PT RBT, CV VIP, PT SBS, PT SIP, dan PT TIN. Dalam pertemuan itu Alwin Akbar dan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani meminta para pemilik smelter memberikan bagian bijih timah sebesar 5% dari kuota ekspor smelter swasta dikarenakan hasil produksi yang dimiliki oleh para pemilik smelter tersebut bijih timahnya bersumber dari penambangan illegal di wilayah IUP PT Timah.
“Untuk mengontrol pengiriman bijih timah ke PT Timah tersebut selanjutnya dibuatkan grup Whatsapp dengan nama New Smelter,” ucap jaksa.
Kegiatan ini disebut jaksa sebagai rekayasa PT Timah untuk melegalisasi penambangan maupun pembelian bijih timah dari penambangan ilegal. Pembayaran dalam kegiatan itu mengakibatkan pengeluaran PT Timah sebesar Rp 5.133.498.451.086.
Sejatinya pembelian bijih timah secara langsung dari penambang ilegal dilarang, oleh sebab itu Emil Ermindra dan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani mendirikan CV Salsabila Utama. Atas pembelian itu, PT Timah mengeluarkan Rp 986.799.408.690 untuk CV Salsabila Utama.
Kemudian di tahun 2018, Alwin Akbar dan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani bertemu para pemilik smelter yaitu PT RBT, CV VIP, PT SBS, PT SIP, dan PT TIN. Dalam pertemuan itu Alwin Akbar dan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani meminta para pemilik smelter memberikan bagian bijih timah sebesar 5% dari kuota ekspor smelter swasta dikarenakan hasil produksi yang dimiliki oleh para pemilik smelter tersebut bijih timahnya bersumber dari penambangan illegal di wilayah IUP PT Timah.
“Untuk mengontrol pengiriman bijih timah ke PT Timah tersebut selanjutnya dibuatkan grup Whatsapp dengan nama New Smelter,” ucap jaksa.
Kegiatan ini disebut jaksa sebagai rekayasa PT Timah untuk melegalisasi penambangan maupun pembelian bijih timah dari penambangan ilegal. Pembayaran dalam kegiatan itu mengakibatkan pengeluaran PT Timah sebesar Rp 5.133.498.451.086.
Peran Harvey Moeis hingga Helena Lim
Masih di tahun yang sama, trio PT Timah yaitu Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Alwin Akbar, Emil Ermindra bertemu Harvey Moeis dan Robert Bonosusatya di salah satu lokasi di Jakarta Selatan untuk membahas kerja sama sewa peralatan penglogaman antara PT Timah dengan PT RBT. Singkatnya kemudian Harvey Moeis mengajak smelter lain yaitu PT SBS, CV VIP, PT SIP, PT TIN yang kemudian berlanjut pada pertemuan berikutnya.
Para pemilik smelter itu menyadari tidak akan mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) karena tidak memiliki Competent Person (CP) sesuai Peraturan Menteri ESDM dan Keputusan Menteri ESDM. Oleh sebab itu mereka mengusulkan ke pihak PT Timah untuk dibuatkan kesepakatan.
Proses berlangsung di mana dalam perjalanannya termasuk membentuk perusahaan boneka untuk akal-akalan hingga pembayarannya melebihi harga pokok penjualan atau HPP. Jaksa mengatakan HPP seharusnya Rp 738.930.203.450,76 tapi membengkak hingga PT Timah harus mengeluarkan Rp 3.023.880.421.362,90 atau kemahalan sebesar Rp 2.284.950.217.912,14.
Selain itu Harvey Moeis meminta ke para Tamron, Suwito Gunawan, Robert Indarto, Fandi Lingga sebesar USD 500 sampai USD 750/Mton dengan alasan adanya biaya pengamanan. Pengumpulan dana itu dikemas seolah-olah pembiayaan Corporate Social Responsibility (CSR) yang diteruskan ke PT QSE yang merupakan perusahaan money changer Helena Lim.
Aliran Uang dan Hitungan Negara Rugi Rp 300 Triliun
Dalam surat dakwaan itu juga disebutkan aliran uang sebagai berikut:
1. Memperkaya Amir Syahbana Rp 325.999.998,00
2. Memperkaya Suparta melalui PT RBT Rp 4.571.438.592.561,56
3. Memperkaya Tamron alias Aon melalui CV VIP Rp 3.660.991.640.663,67
4. Memperkaya Robert Indarto melalui PT SBS Rp 1.920.273.791.788,36
5. Memperkaya Suwito Gunawan alias Awi melalui PT SIP Rp 2.200.704.628.766,06
6. Memperkaya Hendry Lie melalui PT TIN Rp 1.059.577.589.599,19
7. Memperkaya 375 Mitra Jasa Usaha Pertambangan atau pemilik IUJP di antaranya CV Global Mandiri Jaya, PT Indo Metal Asia, CV Tri Selaras Jaya, PT Agung Dinamika Teknik Utama Rp 10.387.091.224.913
8. Memperkaya CV Indo Metal Asia dan CV Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM) Rp 4.146.699.042.396
9. Memperkaya Emil Ermindra melalui CV Salsabila Rp 986.799.408.690
10. Memperkaya Harvey Moeis dan Helena Lim Rp 420.000.000.000
Jaksa juga menyebutkan jika perbuatan korupsi itu menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau Rp 300 triliun lebih. Angka itu didapat berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah tahun 2015 sampai dengan tahun 2022 Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 Tanggal 28 Mei 2024. Rp 300 triliun lebih itu dijabarkan sebagai berikut:
1. Kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat processing penglogaman timah yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 2.284.950.217.912,14
2. Kerugian negara atas pembayaran bijih timah dari tambang timah illegal sebesar Rp 26.648.625.701.519,00
3. Kerugian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal yang dihitung oleh Ahli Lingkungan Hidup dengan rincian sebagai berikut
a. Kerugian Ekologi Rp 183.703.234.398.100,00
b. Kerugian Ekonomi Lingkungan Rp 75.479.370.880.000,00
c. Biaya Pemulihan Rp 11.887.082.740.600,00
Totalnya Rp 271.069.688.018.700,00
Ketiga komponen di atas kemudian dijumlah menjadi Kerugian Keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14. @Red